Gambar : Senapati Kartanadi
Sementara itu masih terjadi pertarungan di luar wilayah, Patih Surata dan Senapati Kartanadi sibuk mengusir wadyabala Lokapala.
Patih Banendra sungguh buas, banyak prajurit Mahespati terbunuh akibat kesaktian sang patih.
Patih Banendra tidak akan berhenti menyerang sebelum negeri Mahespati diduduki.
Senapati Kartanadi turut dibuat susah karena mengurus banyak prajurit yang tewas.
Patih Surata tidak tinggal diam, dia mencoba untuk mengalahkan Patih Banendra yang sakti.
Kedua orang Patih ini saling beradu jotos dan serangan terbaik demi mengakhiri pertempuran.
Sayangnya semua berjalan tidak seimbang, Patih Surata terlalu sakti sehingga Patih Banendra mulai didesak. Akhirnya tanpa pikir panjang' Patih Surata melempar tombak ke arah Patih Banendra.
Kemudian terhunuslah tombak itu ke perut Patih Banendra sehingga tewaslah ia berlumuran darah.
Keadaan ini menjadikan semua prajurit Lokapala ketakutan kala pimpinan pasukannya meregang nyawa.
Kedua orang Patih ini saling beradu jotos dan serangan terbaik demi mengakhiri pertempuran.
Sayangnya semua berjalan tidak seimbang, Patih Surata terlalu sakti sehingga Patih Banendra mulai didesak. Akhirnya tanpa pikir panjang' Patih Surata melempar tombak ke arah Patih Banendra.
Kemudian terhunuslah tombak itu ke perut Patih Banendra sehingga tewaslah ia berlumuran darah.
Keadaan ini menjadikan semua prajurit Lokapala ketakutan kala pimpinan pasukannya meregang nyawa.
Mereka pun tinggal gelanggang tanpa menunggu perintah karena sudah nyata-nyata kalah.
Kemenangan akhirnya diraih dan semua berjalan sukses meski keadaan tidak begitu baik mengingat banyak prajurit yang gugur di medan pertempuran.
Patih Surata hanya bisa menyaksikan puluhan nyawa bergelimpangan berlumuran darah, itulah suasana menyedihkan dan menyakitkan dalam pertempuran walaupun akhirnya menang.
Cerita berganti di pertapaan Grastina, Dewi Indrandi masih menjaga Dewi Danuwati yang sedang istirahat sembari memulihkan tenaga seusai melahirkan anak.
Tidak lama setelah proses persalinan, Prabu Kartawirya datang menemui istrinya itu yang tergolek lemah tak berdaya' namun masih bisa tersenyum lebar karena sang jabang bayi telah lahir berkat bantuan para bidadari.
Puji syukur dihaturkan kepada Dewata atas bantuan yang berhasil memenangkan pertempuran melawan wadyabala Lokapala.
Kemenangan akhirnya diraih dan semua berjalan sukses meski keadaan tidak begitu baik mengingat banyak prajurit yang gugur di medan pertempuran.
Patih Surata hanya bisa menyaksikan puluhan nyawa bergelimpangan berlumuran darah, itulah suasana menyedihkan dan menyakitkan dalam pertempuran walaupun akhirnya menang.
Cerita berganti di pertapaan Grastina, Dewi Indrandi masih menjaga Dewi Danuwati yang sedang istirahat sembari memulihkan tenaga seusai melahirkan anak.
Tidak lama setelah proses persalinan, Prabu Kartawirya datang menemui istrinya itu yang tergolek lemah tak berdaya' namun masih bisa tersenyum lebar karena sang jabang bayi telah lahir berkat bantuan para bidadari.
Puji syukur dihaturkan kepada Dewata atas bantuan yang berhasil memenangkan pertempuran melawan wadyabala Lokapala.
Kemudian Prabu Kartawirya memberikan nama untuk bayi yang baru lahir itu dengan nama Arjuna Wijaya.
Resi Gotama mengucapkan selamat, ia menilai bahwa nama itu pantas disematkan kepada bayi titisan Dewa Wisnu tersebut.
Kemudian Prabu Kartawirya dan Dewi Danuwati pamit undur diri kembali ke Mahespati sekaligus memastikan bahwa semua aman.
Resi Gotama mengucapkan selamat, ia menilai bahwa nama itu pantas disematkan kepada bayi titisan Dewa Wisnu tersebut.
Kemudian Prabu Kartawirya dan Dewi Danuwati pamit undur diri kembali ke Mahespati sekaligus memastikan bahwa semua aman.
Batara Narada yang juga hadir ikut memberkati kedua pasangan tersebut agar menjadi ayah dan ibu panutan serta mampu mengurus anak.
Kepulangan raja Mahespati dan permaisuri disambut meriah oleh rakyat, iring-iringan dipimpin oleh Patih Surata dan Senapati Kartanadi sambil mengendarai kuda bersama para prajurit yang masih tersisa.
Kepulangan raja Mahespati dan permaisuri disambut meriah oleh rakyat, iring-iringan dipimpin oleh Patih Surata dan Senapati Kartanadi sambil mengendarai kuda bersama para prajurit yang masih tersisa.
Sementara itu Resi Gotama diberi tugas untuk menjaga Senjata Cakra oleh Batara Narada hingga putra Prabu Kartawirya beranjak dewasa.
Namun, Resi Gotama tidak sanggup melakukan hal itu karena senjata pusaka tersebut terlalu berbahaya untuk digunakan. Akhirnya Resi Gotama menyerahkan Senjata Cakra kembali pada Batara Narada.
Batara Narada memaklumi, lantas dewa bertubuh cebol itu hendak mencari orang yang pantas menjaga senjata tersebut. Lalu, Resi Gotama memberi tahu bahwa ada seorang pertapa bernama Resi Suwandagni yang saat itu sedang dirundung kesusahan.
Mendengar berita dari Resi Gotama, Batara Narada pamit untuk mencari Resi Suwandagni yang sedang susah hati.
Cerita berganti di lain tempat, dimana pada hari itu di sebuah padepokan yang bernama pertapaan Ardisekar terdapat seorang brahmana bernama Resi Suwandagni.
Namun, Resi Gotama tidak sanggup melakukan hal itu karena senjata pusaka tersebut terlalu berbahaya untuk digunakan. Akhirnya Resi Gotama menyerahkan Senjata Cakra kembali pada Batara Narada.
Batara Narada memaklumi, lantas dewa bertubuh cebol itu hendak mencari orang yang pantas menjaga senjata tersebut. Lalu, Resi Gotama memberi tahu bahwa ada seorang pertapa bernama Resi Suwandagni yang saat itu sedang dirundung kesusahan.
Mendengar berita dari Resi Gotama, Batara Narada pamit untuk mencari Resi Suwandagni yang sedang susah hati.
Cerita berganti di lain tempat, dimana pada hari itu di sebuah padepokan yang bernama pertapaan Ardisekar terdapat seorang brahmana bernama Resi Suwandagni.
Sang resi pada saat itu sedang susah dan sedih karena sang istri tidak kunjung memperoleh keturunan meski lama menikah.
Siang malam Resi Suwandagni berdoa kepada dewata agar istrinya dikaruniai keturunan yang bisa menjadi orang-orang sakti dan berbudi pekerti luhur.
Lalu, dari atas langit datanglah Batara Narada menemui Resi Suwandagni yang sedang bertapa memohon bantuan dewata.
Siang malam Resi Suwandagni berdoa kepada dewata agar istrinya dikaruniai keturunan yang bisa menjadi orang-orang sakti dan berbudi pekerti luhur.
Lalu, dari atas langit datanglah Batara Narada menemui Resi Suwandagni yang sedang bertapa memohon bantuan dewata.
Resi Suwandagni menyambut kedatangan Batara Narada dengan penuh hormat dan suka cita, karena merasa terkabul semua permohonannya.
Begitu muncul dihadapan Resi Suwandagni, Bathara Narada menyerahkan Senjata Cakra kepada sang pertapa sebagai sarana untuk memperoleh keturunan.
Resi Suwandagni heran, bukannya diberi obat atau ramuan yang manjur justru malah diberi anugerah berupa pusaka kahyangan.
Bathara Narada menjelaskan bahwa Senjata Cakra juga mempunyai daya magis untuk mengobati segala macam penyakit dan menghidupkan orang yang sudah mati.
Maka percayalah Resi Suwandagni dengan ucapan Bathara Narada, kemudian diterimalah pusaka ampuh itu dengan hati-hati.
Seusai diberi pusaka, Resi Suwandagni berterima kasih dan segera Bathara Narada undur diri dari hadapan kembali ke kahyangan.
Resi Suwandagni heran, bukannya diberi obat atau ramuan yang manjur justru malah diberi anugerah berupa pusaka kahyangan.
Bathara Narada menjelaskan bahwa Senjata Cakra juga mempunyai daya magis untuk mengobati segala macam penyakit dan menghidupkan orang yang sudah mati.
Maka percayalah Resi Suwandagni dengan ucapan Bathara Narada, kemudian diterimalah pusaka ampuh itu dengan hati-hati.
Seusai diberi pusaka, Resi Suwandagni berterima kasih dan segera Bathara Narada undur diri dari hadapan kembali ke kahyangan.
(Bersambung)
0 Response to "Kisah Arjuna Sasrabahu : Danaraja Ngraman (Episode 05)"
Post a Comment